Perluas Pemahaman Implementasi Pendidikan Non-Formal di Berbagai Negara, Prodi PLS adakan Guest Lecture Dengan Kyambogo University, Uganda

Jumat, 21 Maret 2025, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris mengadakan Kuliah Tamu “Cross-Cultural Perspectives on Non-Formal Education: Studi Kasus dari Uganda dan Indonesia”, bertempat di Ruang Sidang Lantai 2, Gedung O1, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Dipandu oleh dosen Pendidikan Luar Sekolah, Ibu Desika Putri Mardiani, M.Pd., acara ini sekaligus dirangkai dalam bagian program internasionalisasi prodi. Hal ini juga sekaligus berkaitan dengan salah satu mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa, yaitu Non-Formal Education (NFE) Comparison, yang mana mahasiswa akan mempelajari implementasi NFE di seluruh dunia. Dan pada saat itu, kami mendiskusikan antara Uganda dan Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang kehidupan sosial di Uganda, bagaimana masyarakat mengelola cara-cara pendidikan untuk mengembangkan komunitas mereka, bagaimana program-program keterampilan vokasional atau yang lainnya dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, dan banyak hal baru lainnya. Kemudian, bandingkan dengan bagaimana hal tersebut diterapkan di Indonesia.
Narasumber bernama Angella Denis, seorang praktisi dan akademisi pendidikan nonformal dari Prodi Adult and Community Education, Kyambogo University, Uganda. Ia berbagi pengalaman dan perspektifnya mengenai sistem PNF di negaranya. Pembahasan mengenai perbandingan sistem pendidikan non-formal (PNF) antara Uganda dan Indonesia, dengan menyoroti berbagai program serta tantangan yang dihadapi di kedua negara.
Secara umum, sistem pendidikan di Afrika, khususnya Uganda, memiliki kemiripan dengan Indonesia dalam hal fleksibilitas dan keterbukaan terhadap berbagai kalangan. PNF di Uganda lebih terstruktur dan dapat diikuti oleh berbagai usia, mirip dengan konsep pendidikan non-formal di Indonesia, seperti program Paket A, B, dan C atau kursus keterampilan. Denis sendiri menempuh pendidikan non-formal di sekolah seminari, yang jika dibandingkan dengan Indonesia, memiliki kesamaan dengan program pendidikan kejuruan atau pesantren yang memberikan pendidikan selama 2-4 tahun sebelum melanjutkan ke universitas. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah seminari, Denis melanjutkan studinya di Kyambogo University dan kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dengan beasiswa dari Indonesia untuk negara-negara berkembang. Salah satu alasan Denis memilih UNESA adalah karena program studinya relevan dengan pendidikan sebelumnya serta reputasi pendidikan di Indonesia yang menurutnya berkualitas.
Selain membahas pendidikan, juga menyinggung kehidupan sosial dan budaya di Uganda. Denis berasal dari Karamoja, salah satu daerah di Uganda yang memiliki budaya unik. Uganda sendiri adalah negara di Afrika yang dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia. Selain itu, terdapat berbagai program pengelolaan sumber daya alam yang mendukung perekonomian masyarakatnya. Ibukota Uganda, Kampala, menjadi pusat ekonomi dan pendidikan di negara tersebut. Dalam kehidupan sosial, keluarga di Uganda terbagi menjadi "clear family" (keluarga inti) dan "extended family" (keluarga besar). Dalam budaya Uganda, memiliki sembilan anak dianggap cukup umum. Rumah tradisional mereka, yang disebut "manyatta," terbuat dari jerami dan tanah liat serta dikelilingi pagar sebagai bentuk perlindungan bagi keluarga.
Di Uganda, penggunaan teknologi masih terbatas, terutama di daerah pedesaan. Kekhawatiran akan kebakaran membuat masyarakat enggan menggunakan listrik tanpa perlindungan yang memadai. Namun, mereka tetap menggunakan ponsel, terutama model lama seperti Nokia jadul. Sumber energi utama di pedesaan adalah tenaga surya, sementara di kota listrik lebih mudah diakses. Uganda juga memiliki kebebasan dalam beragama, dengan masyarakat yang menganut berbagai keyakinan, termasuk Katolik dengan kehadiran biarawati (nuns) serta kepercayaan tradisional Afrika.
PNF di Uganda memiliki peran yang sangat besar dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Banyak warga yang lebih memilih PNF dibandingkan pendidikan formal karena sifatnya yang lebih aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Beberapa program pendidikan non-formal di Uganda yang memiliki kesamaan dengan Indonesia antara lain:
1. Vocational Training (Pelatihan Kejuruan)
Meliputi berbagai keterampilan seperti mekanik, tata rambut, pertukangan (carpentry), dan instalasi listrik.
2. Pendidikan Orang Dewasa
Program literasi untuk meningkatkan angka melek huruf.
3. Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan komunitas.
4. Pembelajaran Online dan Jarak Jauh
Memungkinkan lebih banyak orang untuk mengakses pendidikan meskipun berada di daerah terpencil.
5. Pertanian (Agriculture Program)
Program pelatihan dalam bidang pertanian untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
6. Peternakan Lebah (Beekeeping Program)
Pelatihan pengambilan madu sebagai salah satu komoditas ekonomi penting di Uganda.
7. Kursus Elektronik (Electronic Installation)
Pelatihan instalasi listrik yang tersedia di kota maupun pedesaan.
8. Program Kewirausahaan
Seperti pembuatan musik (beat making), tata busana (tailoring), dan keterampilan komputer (computer skills).
Manfaat utama dari pendidikan non-formal di Uganda adalah membantu menutup kesenjangan literasi, meningkatkan keterampilan kerja, mendukung komunitas marginal, mendorong pembelajaran sepanjang hayat, serta mempercepat pembangunan komunitas.
Dari diskusi ini dapat disimpulkan bahwa PNF di Uganda dan Indonesia memiliki banyak kesamaan dalam sistem dan implementasinya. Pendidikan non-formal memainkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kedua negara. Program-program yang dikembangkan tidak hanya didasarkan pada kebijakan pemerintah, tetapi juga menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi mereka yang tidak dapat mengakses pendidikan formal.